May 2, 2009

Keberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Dewan Hak Cipta Setelah UU Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta


Hak Cipta merupakan hak ekslusif yang dimiliki oleh pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak ciptaannya, atau untuk memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlindungan mengenai Hak Cipta pertama kali diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) No.6 Tahun 1982, kemudian direvisi menjadi UUHC No.7 Tahun 1987 dan direvisi kembali dengan UUHC No.12 Tahun 1997, dan saat ini UUHC telah diganti menjadi UUHC No.19 Tahun 2002. Hal ini berarti UUHC yang baru menggantikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 yang telah direvisi sebanyak dua kali tersebut.

Pembahasan mengenai keberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Dewan Hak Cipta berkaitan dengan perubahan UUHC yang telah terjadi. Dewan Hak Cipta merupakan Dewan yang berfungsi untuk membantu Pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan bimbingan serta untuk pembinaan hak cipta. Ketentuan mengenai Dewan Hak Cipta pertama kali diatur dalam Pasal 39 UUHC No.6 Tahun 1982, kemudian berdasarkan pasal 40 ayat (2) ditetapkan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai Dewan Hak Cipta diatur melalui Peraturan Pemerintah.

Adanya amanat dari pasal 40 ayat (2) UUHC No.6 Tahun 1982 untuk mengatur lebih lanjut Dewan Hak Cipta melalui PP, maka untuk pertama kalinya lahir PP No.14 Tahun 1986. PP ini mengatur mengenai tugas, fungsi, susunan, tata kerja, pembiayaan, dan tata cara penggantian lowongan Dewan Hak Cipta. Kemudian pada saat UUHC direvisi menjadi UUHC No.7 Tahun 1987, PP mengenai Dewan Hak Cipta tersebut juga dilakukan beberapa revisi, yang akhirnya menjadi PP No.7 Tahun 1989.

Permasalahan mengenai keberlakuan PP No.7 Tahun 1989 timbul pada saat UUHC No.6 Tahun 1982 yang telah direvisi sebanyak dua kali tersebut diganti dengan UUHC No.19 Tahun 2002. Untuk mengetahui apakah PP No.7 Tahun 1989 tersebut masih berlaku atau tidak sejak diundangkannya UUHC tahun 2002, maka perlu dijelaskan mengenai hierarki perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Berdasarkan hierarki perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004, disebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan adalah meliputi :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
3. Peraturan pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa PP merupakan peraturan-praturan yang membuat ketentuan-ketentuan dalam suatu Undang-undang dapat berjalan atau diberlakukan. Suatu PP dapat dibentuk apabila sudah ada undang-undangnya.

Terkait dengan Dewan Hak Cipta yang pengaturan lebih lanjutnya diatur dalam PP, maka dengan dicabutnya Undang-Undang yang mendasari dibuatnya PP Dewan Hak Cipta berarti membawa konsekuensi PP tersebut tidak berlaku lagi oleh karena kedudukan PP tersebut berada di bawah Undang-Undang. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa PP No.14 tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta pertama kali dibentuk untuk menjalankan UUHC No.6 tahun 1982. Kemudian PP tersebut diubah dengan PP No.7 tahun 1989 karena UUHC tahun 1982 telah diubah dengan UUHC No.7 tahun 1987, sehingga karena adanya perubahan substansi mengenai Dewan Hak Cipta dalam UUHC tahun 1982 ke UUHC tahun 1987 maka diperlukan beberapa perubahan dalam PP tahun 1986 ke PP tahun 1989. Dimana PP tahun 1986 tersebut masih berlaku karena beberapa pasal di dalam PP tersebut masih efektif, sedangkan pasal-pasal yang telah dilakukan beberapa perubahan dalam PP tahun 1989 tidak berlaku lagi.

Pada tahun 1997, untuk yang kedua kalinya UUHC direvisi menjadi UUHC No.12 tahun 1997. Namun, untuk UUHC tahun 1997 tidak terdapat revisi yang baru mengenai PP Dewan Hak Cipta. Meskipun UUHC tahun 1987 telah direvisi ke UUHC tahun 1997, PP No.14 tahun 1986 dan PP No.7 tahun 1989 tetap berlaku. Hal ini dikarenakan UUHC tahun 1997 sama halnya dengan kasus pada UUHC tahun 1987, dimana kedua UUHC tersebut hanya merubah beberapa pasal dalam UUHC tahun 1982, sehingga UUHC tahun 1982 masih berlaku meskipun ada pasal-pasal yang sudah tidak berlaku lagi karena telah direvisi pada tahun 1987 dan tahun 1997.

PP mengenai Dewan Hak Cipta tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UUHC No.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hal ini dikarenakan kedudukan UUHC tahun 2002 adalah Undang-Undang yang menggantikan bukan merevisi UUHC yang lama. Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 77 UUHC No.19 tahun 2002 yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini, maka UUHC No. 6 tahun 1982 sebagaimana diubah dengan UUHC No.7 tahun 1987 dengan UUHC No.12 tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku. Dengan dicabutnya UUHC No. 6 tahun 1982, maka PP No.14 tahun 1986 tentang Dewan Hak Cipta juga tidak berlaku lagi karena PP tersebut lahir untuk menjalankan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1982. Begitu juga dengan PP No.7 tahun 1989, yang isinya mengatur beberapa perubahan tentang Dewan Hak Cipta dalam PP No.14 tahun 1986 tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UUHC No.19 tahun 2002.

April 26, 2009

Keikutsertaan Rakyat Dalam Pemerintahan

Demokrasi dan Hak Asasi Manusia adalah dua hal yang sangat berkaitan, apabila akan menegakkan HAM maka prinsip Demokrasi harus dipakai. Karakteristik dari Demokrasi adalah adanya keikutsertaan dari rakyat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan, dimana rakyat maupun pemerintah tunduk pada supremasi hukum.

Keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan dilatarbelakangi pada saat pembentukan suatu negara, dimana telah ada wilayah dan rakyat, maka membutuhkan suatu pemimpin untuk memimpin rakyat. Pada saat pemimpin ini dipilih, maka kedudukannya berada diatas rakyat dan dapat bertindak sewenang-wenang. Oleh karena itulah dibutuhkan suatu pengaturan mengenai kewenangan pemimpin yang diatur dalam konstitusi atau aturan-aturan yang menimbulkan hak-hak dan kewajiban rakyat dan pemerintah. Aturan-aturan yang dibuat tersebut juga mengikutsertakan rakyat untuk turut serta dalam pemerintahan, karena pemimpin yang akan memimipin suatu negara harus dapat mewakili dan mengaspirasikan kepentingan rakyat. Misalnya dalam Pemilihan Umum (PEMLU), dimana rakyat secara langsung dapat memilih siapa saja wakil-wakil rakyat yang mereka percaya dan dianggap dapat mengemban amanah dari rakyat.

Hak turut serta dalam pemerintahan merupakan suatu bagian yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan pengaturannya terdapat dalam Pasal 28 D ayat (3) UUD 1945. Empat unsur keikutsertaan rakyat dapat dilihat dalam pasal 43 dan pasal 44 UU Nomor 39 Tahun 1999. Pasal 43 menyebutkan hak unntuk dipilih dan memilih, serta hak untuk turut serta dalam pemerintahan secara langsung atau dengan perantaraan wakilnya. Hak-hak ini diberikan bagi setiap warga negara. Sedangkan dalam pasal 44 hak-haknya diberikan bagi setiap orang, yaitu hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan, dan hak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan, dan/atau usulan kepada pemerintah. Jadi, keempat hak-hak ini terkait dengan karakteristik dari demokrasi. Seperti contoh pemilu diatas, dimana rakyat secara langsung memilih wakil rakyat untuk duduk di kursi pemerintahan merupakan implementasi dari keikutsertaan rakyat pada pemerintahan.

Kedudukan Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.[1] Seorang notaris harus mempunyai pengetahuan, yaitu pengetahuan umum serta menguasai ilmu hukum yang benar. Oleh karena itu jabatan seorang notaris dibuat dalam peraturan-peraturan yang memberikan jaminan kemampuan bahwa tidak seorang pun dapat diangkat menjadi notaris.[2] Jabatan seorang notaris Notaris sebagai pejabat umum merupakan pelaksanaan dari ketentuan yang diatur dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang menyatakan bahwa akta otentik adalah suatu akta yang ditentukan oleh Undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang, di tempat dimana akta itu dibuat.

Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan sebagian fungsi publik diangkat oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Dalam menjalankan tugas jabatannya, seorang notaris harus berpegang teguh pada Kode Etik Jabatan Notaris. Kode etik profesi merupakan kode etik terapan yang dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan ilmu pegetahuan dan teknologi. Kode etik profesi tersebut merupakan perwujudan nilai moral yang hakiki dan tidak dapat dipaksakan dari luar, oleh karena itu hanya berlaku efektif apabila dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam lingkungan profesi itu sendiri, sehingga dapat menjadi tolak ukur perbuatan anggota kelompok profesi dalam mengupayakan pencegahan berbuat yang tidak etis bagi anggotanya.[3] Profesi Notaris merupakan organ yang wewenangnya diberikan oleh undang-undang memiliki tugas dan tanggung jawab dalam hal memberikan pelayanan kepada masyarakat umum, khususnya sebagai alat bukti tertulis dan otentik yang berhubungan dengan perbuatan hukum yang dikendaki para pihak, yang berkepentingan atau yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kode etik notaris merupakan suatu tuntutan, bimbingan, pedoman moral atau kesusilaan dari seorang notaris.

Pemerintah dan masyarakat mengharapkan agar pelayanan jasa yang diberikan oleh seorang notaris benar-benar dapat memiliki nilai dan bobot yang dapat diandalkan, sehingga sesuai dengan peraturan yang dibuat untuk jabatan notaris yaitu Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Hal ini dikarenakan notaris sebagai pembuat untuk lahirnya suat akta otentik dari pihak-pihak yang bersengketa, dimana akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, yang digunakan sebagai alat bukti yang menyangkut kepentingan bagi para pencari keadilan, sehingga notaris harus memiliki integritas yang didukung dengan itikad moral serta kejujuran yang dapat dipertanggungjawabkan.[4] Sehubungan dengan ini, seorang notaris memerlukan suatu pengawasan efektif dan pembinaan yang terus menerus mengenai perilaku diri pribadi didalam menjalankan jabatan maupun di luar jabatannya agar tidak terjadi penyalahgunaan fungsi jabatan yang akan mengakibatkan ketidaktaatan terhadap norma-norma hukum positif dan ketidaksetiaan pada kode etik profesi.[5]



[1] Indonesia. Undang-undang Tentang Jabatan Notaris. UU No.30 Tahun 2004, pasal 1 angka 1. [2] Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hal.26. [3] Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, (Bandung : Bigraf Publishing, 2001), hal.72 [4] Irfan Fachruddin, “Kedudukan Notaris dan Akta-aktanya Dalam Sengketa Tata Usaha Negara,” Varia Peradilan No.111 (Desember 1994), hal.147. [5] Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1994), hal.4.

April 19, 2009

Dampak Krisis Global Terhadap Negara Indonesia

Krisis ekonomi global telah menghantam kondisi perekonomian di Indonesia secara signifikan. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2009. Indonesia mengalami hambatan yang sangat besar untuk mempertahankan pertumbuhan perekonomian seiring dengan krisis keuangan global yang melanda seluruh dunia. Lembaga Riset Ekonomi Econit Advisory Group memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 akan melambat dan berada pada kisaran 3-4% atau lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi sebesar 6% pada tahun sebelumnya. Adapun faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya penurunan pada tingkat perekonomian adalah menurunya investasi asing, ekspor, dan juga tingkat konsumsi masyarakat.

Krisis finansial dunia yang ditandai dengan resesi ekonomi pada negara-negara maju telah menyebabkan kebangkrutan perusahaan pada sektor riil maupun finansial yang mengakibatkan menurunnya nilai rupiah. Penurunan nilai rupiah ini terjadi karena hutan perusahaan dalam negeri atau luar negeri. Kebangkrutan yang terjadi juga disebabkan oleh krisis ekonomi sehingga investasi asing menurun dan investor asing menarik modal mereka keluar dari Indonesia sehingga cadangan valuta asing menipis. Padahal alasan utama negara berkembang mengundnag modal asing adlaah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang bertujuan untuk memeperluas lapangan kerja. Krisis ekonomi juga berdampak pada ketidakmampuan perusahaan membeli bahan baku luar negeri, dan menurunnya permintaan masyarakat akan barang dan jasa. Untuk mencegah kerugian yang lebih besar sebagian pengusaha mengurangi produksi dan mengurangi jumlah tenaga kerjanya. Dengan kondsi perekonomian tersebut mengakibatkan angka pengangguran semakin meningkat karena adanya pemutusan hubungan kerja (PHK). Tingginya tingkat pengangguran berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi dan menimbulkan efek buruk karena masyarakat secara drastis akan mengurangi konsumsi dan belanjanya. Pengangguran secara tidak langsung mempengaruhi pendapatan nasional dan menyebabkan turunya produk domestik Bruto (PDB). Selain itu juga pengangguran dapat mempengaruhi investasi karena tabungan masyarakat menurun.

Krisis finansial Global yang berpengaruh pada sector riil dapat dilihat dengan makin surutnya pasar ekspor ke negara maju terutama Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa, yang merupakan pasar ekspor utama Indonesia saat ini. Penurunan ekspor dikarenakan melemahnya permintaan produk manufaktur maupun bahan bentah dan harga sejumlah komoditas di pasar internasional. Berdasarkan data daro Badan Pusat Statistik DKI, nilai ekspor mengalami penuunan sekitar 7%. Amerika Serikat (AS) merupakan pangsa pasat terbesar dunia bagi negara-negara eksportir, termasuk China dan Indonesia. Krisis finansial di AS akan membuat AS lebih protektif dalam pasar domestic, sehingga China akan berupaya mengalihkan pasar produknya ke kawasan lain termasuk Indonesia. Kondisi ini akan dapat mengancam kondisi perekonomian Indonesia. Oleh karena di satu pihak tingkat ekspor Indonesia menurun dan di pihak lain tingkat impor produk luar negeri semakin meningkat.

Selain itu juga, dengan menurunnya permintaan produk ekspor AS dalam rangka melakukan tindakan protektif dalam pasar domestiknya, diperkirakan belum mampu diterima oleh pasar-pasar tujuan ekspor lain, hal ini karena AS merupakan pasar dengan daya beli konsumen lebih kuat dibanding negara lainnya. Krisis keuangan global ini akan cukup berpengaruh terhadap industry tekstil yang merupakan industry padat karya. Meskipun naiknya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah cukup menghawatirkan, akan tetapi selama ini pasar ekspor tekstil belum terganggu akibat adanya kontrak jangka panjang. Namun dampak krisis tersebut mulai dapat dirasakan karena sebagain besar perusahaan tekstil mempunyai hutang dalam bentuk mata uang asing termasuk dolar AS. Hal ini sebagai akibat sulitnya akses pinjaman uang dari Bank dalam negeri, sehingga pelaku industri mencari pinjaman kredit ke luar negeri. Akibatnya, pelaku industri harus menanggung beban hutang lebih besar, yang mengakibatkan gulung tikarnya industri tekstil dan hilangnya lapangan pekerjaan yang cukup besar

April 18, 2009

Pengecualian Price Fixing

Perjanjian penetapan harga (price fixing) adalah perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen. Dengan adanya perjanjian tersebut, pelaku-pelaku usaha yang terlibat dalam perjanjian dapat memaksakan harga yang diinginkan secara sepihak kepada konsumen. Apabila setiap pelaku usaha yang berada di dalam pasar melakukan perjanjian penetapan harga tersebut, maka konsumen tidak memiliki alternatife lain kecuali harus menerima harga yang ditawarkan oleh para para pelaku usaha. Oleh karena itulah untuk menghindari dominasi dari para pelaku usaha, maka perjanjian penetapan harga merupakan perjanjian yang dilarang sebagaimana diatur pada ketentuan pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pengecualian dari pasal 5 ayat (1) tersebut adalah pasal 5 ayat (2), dimana ada perjanjian penetapan harga yang tidak dilarang. Seperti perjanjian price fixing yang dibuat dalam suatu usaha patungan dan yang didasarkan kepada undang-undang yang berlaku. Perjanjian penetapan harga karena undang-undang tidak dilarang karena pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut merupakan bentuk implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila. Sehingga ketentuan dari suatu undang-undang dapat mengecualikan pemberlakuan undang-undang persaingan usaha.

Dalam penjelasan umum UU No.5 Tahun 1999, dapat diketahui bahwa latar belakang adanya Undang-Undang ini adalah karena penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu pada amanat dalam Pasal 33 UUD 1945 dan cenderung monopolistik, sehingga tujuan dari pembentukan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah untuk menyeimbangkan kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum berdasarkan demokrasi ekonomi yang mengacu kepada amanat pasal 33 UUD 1945 dan menganut prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan nasional. Pasal 5 ayat (2) yang memperbolehkan perjanjian penetapan harga karena undang-undang dan sebagai bentuk pengecualian dari pasal 5 ayat (1) bertujuan untuk menghindari adanya konsep tujuan yang berbeda antara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 dengan UUD 1945 khususnya di pasal 33 ayat (2), (3) dan (4), yang pada intinya mengatur bahwa:

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi.

Apabila perjanjian penetapan harga itu ditujukan untuk kesejahteraan rakyat pada umumnya dan sejalan dengan amanat dari UUD 1945, maka perjanjian penetapan harga tersebut diperbolehkan. Oleh karena itulah perjanjian penetapan harga yang didasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 diperbolehkan.

April 16, 2009

Genosida

Salah satu Instrumen HAM PBB yang mengatur mengenai Genosida adalah Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida). Pertimbangan dari Majelis PBB membuat deklarasi yang berhubungan dengan Genosida adalah karena Genosida merupakan kejahatan menurut hukum internasional, bertentangan dengan jiwa, serta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat. Terbentuknya Konvensi juga dikarenakan genosida merupakan pelanggaran terhadap Hak hidup seseorang atau sekelompok orang dan oleh karenanya dibutuhkan suatu aturan yang berfungsi untuk melindungi hak tersebut.

Indonesia meratifikasi konvensi tersebut dengan resolusi Majelis Umum 260A (III), Ketentuan lain yang berhubungan dengan Genosida adalah Undang-undang Pengadilan HAM. Setiap Individu mempunyai hak untuk hidup dan hak ini merupakan hak yang paling mendasar bagi setiap manusia. Hak ini tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Hak hidup merupakan hak negatif, yaitu hak yang telah ada dan melekat pada diri manusia. Sarana dan Prasarana dari hak negatif tersebut tidak perlu disediakan oleh negara karena tugas negara hanya melindungi hak yang telah melekat pada diri manusia tersebut. Oleh karena itulah Negara harus mempunyai ketentuan-ketentuan yang melindungi hak hidup setiap manusia, tanpa perlindungan dan aturan-aturan tersebut, maka setiap orang akan bertindak sewenang-wenang merampas nyawa dan melanggar hak hidup seseorang atau sekelompok orang.

Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan adanya Undang-undang HAM dan Indonesia juga telah meratifikasi konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida diharapkan dapat memberikan perlindungan hak asasi manusia, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan menajdi dasar dalam penegakan kepastian hukum. Sehingga setiap manusia mendapatkan rasa aman dalam hal pemenuhan hak atas hidup yang melekat pada dirinya.