November 4, 2011

Fasilitas Pajak Untuk Kapal Impor


Hal-hal yang terlebih dahulu akan dijelaskan sebelum masuk kepada Materi adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa fungsi BKPM dalam Fasilitas Perpajakan adalah sebagai pihak yang memberikan rekomendasi pembebasan bea masuk terkait dengan Fasilitas Pajak yang akan diberikan kepada Perusahaan Pelayaran/Perusahaan Angkutan Laut Nasional/Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional (selanjutnya akan disebut sebagai “Perusahaan Pelayaran”);
  2. Bahwa saat ini tidak ada lagi kategori “Pembebasan atau Penundaaan”, yang ada hanyalah “Pembebasan” fasilitas pajak apabila jenis kapal yang akan dimasukkan dalam daftar Master List tersebut memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 19/M-IND/PER/2/2010 tentang Daftar Mesin, Barang, dan bahan produksi dalam negeri untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal;
  3. Bahwa untuk fasilitas pembebasan PPN dan PPH Pasal 22 diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan meminta Surat Keterangan Bebas PPN dan PPH Pasal 22.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kami akan menjelaskan masing-masing Fasilitas Pajak yang dapat diperoleh apabila Capital Goods yang dimasukkan pada Master List adalah :
1. HTS (Anchor Handler Tug Supply) Boat;
2. SV (Platform Supply Vessel);
3. Tug & Barge

Pembebasan Bea Masuk :
Untuk mengetahui apakah jenis kapal-kapal yang tersebut diatas dapat memperoleh Rekomendasi Pembebasan Bea Masuk dari BPKM atau tidak, maka harus dicek terlebih dahulu apakah Kapal yang akan diimpor tersebut telah diproduksi di dalam negeri atau belum dan bagaimana spesifikasi kapal tersebut. Pengecekannya dapat dilihat di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 19/M-IND/PER/2/2010 tentang Daftar Mesin, Barang, dan bahan produksi dalam negeri untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal. Hal ini karena apabila telah diproduksi di dalam negeri dan dengan spesifikasi yang sama, maka untuk jenis-jenis kapal impor yang tersebut diatas tidak akan mendapat fasilitas pembebasan bea masuk. Namun, apabila sudah diproduksi di dalam negeri, tetap bisa memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk jika kapal yang sudah diproduksi di dalam negeri tersebut berbeda spesifikasi atau jumlahnya belum memenuhi kebutuhan. Misalnya untuk jenis kapal yang ditanyakan oleh Bapak Jimmy yaitu AHTS (Anchor Handler Tug Supply) Boat, ternyata untuk jenis kapal tersebut telah diproduksi di dalam negeri dengan ketentuan spesifikasi < 2 x 3.000 HP. Jadi, apabila akan mengimpor kapal AHTS dengan spesifikasi tersebut, fasilitas pembebasan bea masuk tidak dapat diperoleh, kecuali apabila spesifikasinya lebih dari 2x3.000 HP.
Jangka Waktu :
Pembebasan bea masuk dapat diberikan dan tidak menjadi pajak terhutang apabila dilakukan pemindahtanganan kepemilikan dibawah kurun waktu 5 tahun dimana pemindahtanganan tersebut dilakukan kepada Perusahaan lain yang mendapat fasilitas master list untuk pembebasan bea masuk. Dengan demikian, apabila tetap ingin memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk pada Master List dan tidak menjadikannya sebagai pajak terhutang, maka yang harus diperhatikan adalah :
  1. kapal impor tersebut tidak boleh dijual/dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun;
  2. Apabila akan dijual/dipindahtangankan dibawah kurun waktu 5 tahun, maka harus dijual kepada Perusahaan lain yang memperoleh fasilitas Master List di BKPM.
Pembebasan PPN :
 
Untuk memperoleh fasilits PPN ini, tidak diperlukan jenis dan spesifikasi kapal yang akan diimpor sebagaimana untuk memperoleh Fasilitas Pembebasan Bea Masuk. Asalkan yang membeli Kapal Impor tersebut adalah Perusahaan Pelayaran yang merupakan Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, maka Perusahaan Pelayaran tersebut dapat memperoleh fasilitas pembebasan PPN.
Jangka Waktu :
Berbeda dengan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk, dimana bea masuk dapat diberikan dan tidak menjadi pajak terhutang apabila dilakukan penjualan/pemindahtanganan kepemilikan dibawah kurun waktu 5 tahun kepada Perusahaan lain yang mendapat fasilitas master list untuk pembebasan bea masuk. Untuk Fasilitas Pembebasan PPN pada dasarnya kapal yang diimpor dapat dijual/dipindahtangankan kepada pihak lain dibawah kurun waktu 5 (lima) tahun, namun konsekuensinya adalah bahwa Perusahaan Pelayaran harus membayar PPN yang terutang atau yang seharusnya pada saat mengimpor kapal pertama kali. Dengan demikian, apabila ingin mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, kapal impor tersebut tidak boleh dijual/dipindahtangankan sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun (lihat : Pasal 16 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu). Hal-hal yang harus diperhatikan dari maksud ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa Perusahaan Pelayaran boleh memindahtangankan Kapal Impor yang telah dibeli dalam kurun waktu kurang dari 5 (lima) tahun, akan tetapi sanksinya adalah bahwa Perusahaan Pelayaran tersebut harus membayar PPN terutang yang seharusnya dibayar pada saat pembelian Kapal Impor tersebut;
  2. Apabila Kapal Impor tersebut dijual kepada sebuah Perusahaan lain yang memperoleh fasilitas Pembebasan PPN, berarti PPN yang terutang hanyalah sebesar PPN yang seharusnya dibayar pada saat awal. Namun, apabila dijual bukan kepada Perusahaan Lain yang tidak memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN, maka Perusahaan lain yang membeli ini juga dibebani dengan PPN 10% dari nilai pembeliannya. Kronologisnya dapat dijelaskan seperti di bawah ini :
Dijual Kepada Perusahaan yang Memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN juga :
PT A membeli kapal Impor seharga Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar Rupiah), saat pembelian tersebut seharusnya mendapat PPN 10%. Jadi, total yang harus dibayar oleh PT A seharusnya
Harga Kapal: Rp.10.000.000.000,00
PPN 10%    : Rp. 1.000.000.0000,00 +
Total      : Rp. 11.000.000.000,00
Namun, karena PT A memperoleh fasilitas pembebasan PPN, maka PT A tidak perlu membayar PPN, jadi yang dibayar tetap seharga Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah). Lalu, kurang dari 5 (lima) tahun PT A menjual kapal Impor tersebut kepada PT B yang merupakan Perusahaan yang memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN juga. Harga jual kapal tersebut dari PT A ke PT B adalah Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah). Harusnya PT B membayar kapal tersebut seharga :
Harga Kapal : Rp.5.000.000.000,00
PPN 10%     : Rp. 500.000.0000,00 +
Total       : Rp. 5.500.000.000,00

Oleh karena PT B merupakan perusahaan yang memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN juga, maka PT B tidak terkena PPN sehingga kapal yang dibelinya tersebut hanya dibayar seharga Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah). Namun, dikarenakan PT A menjual kepada PT B kurang dari 5 tahun, maka PPN yang seharusnya dibayar oleh PT A pada saat awal sebesar 1 M, tetap harus dibayarkan oleh PT A.

Dijual kepada Perusahaan yang tidak memperoleh fasilitas Pembebasan PPN:
Apabila ternyata PT B diatas merupakan perusahaan yang tidak memperoleh fasilitas Pembebasan PPN, maka PT B juga harus membayar PPN sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah). Sehingga dalam transaksi jual beli kapal impor tersebut diatas terdapat pembayaran PPN yang bisa dikatakan berganda. Hal ini karena Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah) dari PT A yang merupakan sanksi terhadapnya dan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) dari PT B atas pembelian kapal impor dari PT A.

Lalu mengapa ketentuan pemndahtangan Kapal Impor untuk Pembebasan Bea Masuk berbeda dengan ketentuan Pembebasan PPN ?
BKPM memberikan Rekomendasi Pembesan Bea Masuk, sedangkan pengawasan terhadap Bea Masuk dilakukan oleh Bea dan Cukai. Antara BKPM dan Bea Cukai telah mensinergikan aturan terkait Pembebasan Bea Masuk. Sehingga aturan terkait dengan pemindahtanganan Kapal Impor dibawah 5 tahun terdapat perbedaan konsekuensinya. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa antara Pembebasan Bea Masuk dan PPN terdapat perbedaan substansi dan keduanya berdiri sendiri. Apabila kita ambil kasus diatas, dimana PT A menjual kapalnya kurang dari waktu 5 tahun pada Perusahaan Lain dan Perusahaan tersebut mempunyai Fasilitas Master List maka konsekuensinya adalah sebagai berikut :
  1. Terhadap Bea Masuk tidak menjadi Pajak Terutang karena PT A menjual kapalnya kepada Perusahaan Lain yang memperoleh Fasilitas Master List;
  2. Terhadap PPN menjadi Pajak Terhutang. Sehingga yang harus dibayarkan adalah PPN yang seharusnya dibayar pada saat awal.
Fasilitas PPh Pasal 22 :
Pengenaan PPh Pasal 22 atas pembelian Kapal Impor berlaku ketentuan sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 15 disebutkan bahwa kapal-kapal yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22. Oleh Karena itu terhadap pembelian Kapal Impor dapat dimintakan fasilitas Pembebasan PPh.
Jangka Waktu :
Khusus untuk PPh Pasal 22 tidak ada pembatasan jangka waktu terkait fasilitas pembebasan yang dapat diperoleh. Jadi dapat dilakukan penjualan/pemindahtanganan kepemilikan atas kapal kapan saja. Misalnya, ketika menjual kapal dibawah kurun waktu 5 tahun kepada perusahaan yang mendapat fasilitas master list, berarti pajak yang terhutang dan harus dibayar adalah PPN, sedangkan untuk PPH Pasal 22 nya tidak menjadi terhutang, dan bea masuk tidka menjadi terhutang juga karena dijual kepada perusahaan yang memperoleh fasilitas Master List. Akan tetapi, apabila dijual kepada perusahaan yang tidak memperoleh fasilitas Master List, berarti pajak yang menjadi terhutang adalah Bea Masuk dan PPN saja.