November 4, 2011

Fasilitas Pajak Untuk Kapal Impor


Hal-hal yang terlebih dahulu akan dijelaskan sebelum masuk kepada Materi adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa fungsi BKPM dalam Fasilitas Perpajakan adalah sebagai pihak yang memberikan rekomendasi pembebasan bea masuk terkait dengan Fasilitas Pajak yang akan diberikan kepada Perusahaan Pelayaran/Perusahaan Angkutan Laut Nasional/Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional (selanjutnya akan disebut sebagai “Perusahaan Pelayaran”);
  2. Bahwa saat ini tidak ada lagi kategori “Pembebasan atau Penundaaan”, yang ada hanyalah “Pembebasan” fasilitas pajak apabila jenis kapal yang akan dimasukkan dalam daftar Master List tersebut memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 19/M-IND/PER/2/2010 tentang Daftar Mesin, Barang, dan bahan produksi dalam negeri untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal;
  3. Bahwa untuk fasilitas pembebasan PPN dan PPH Pasal 22 diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dengan meminta Surat Keterangan Bebas PPN dan PPH Pasal 22.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka kami akan menjelaskan masing-masing Fasilitas Pajak yang dapat diperoleh apabila Capital Goods yang dimasukkan pada Master List adalah :
1. HTS (Anchor Handler Tug Supply) Boat;
2. SV (Platform Supply Vessel);
3. Tug & Barge

Pembebasan Bea Masuk :
Untuk mengetahui apakah jenis kapal-kapal yang tersebut diatas dapat memperoleh Rekomendasi Pembebasan Bea Masuk dari BPKM atau tidak, maka harus dicek terlebih dahulu apakah Kapal yang akan diimpor tersebut telah diproduksi di dalam negeri atau belum dan bagaimana spesifikasi kapal tersebut. Pengecekannya dapat dilihat di Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 19/M-IND/PER/2/2010 tentang Daftar Mesin, Barang, dan bahan produksi dalam negeri untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal. Hal ini karena apabila telah diproduksi di dalam negeri dan dengan spesifikasi yang sama, maka untuk jenis-jenis kapal impor yang tersebut diatas tidak akan mendapat fasilitas pembebasan bea masuk. Namun, apabila sudah diproduksi di dalam negeri, tetap bisa memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk jika kapal yang sudah diproduksi di dalam negeri tersebut berbeda spesifikasi atau jumlahnya belum memenuhi kebutuhan. Misalnya untuk jenis kapal yang ditanyakan oleh Bapak Jimmy yaitu AHTS (Anchor Handler Tug Supply) Boat, ternyata untuk jenis kapal tersebut telah diproduksi di dalam negeri dengan ketentuan spesifikasi < 2 x 3.000 HP. Jadi, apabila akan mengimpor kapal AHTS dengan spesifikasi tersebut, fasilitas pembebasan bea masuk tidak dapat diperoleh, kecuali apabila spesifikasinya lebih dari 2x3.000 HP.
Jangka Waktu :
Pembebasan bea masuk dapat diberikan dan tidak menjadi pajak terhutang apabila dilakukan pemindahtanganan kepemilikan dibawah kurun waktu 5 tahun dimana pemindahtanganan tersebut dilakukan kepada Perusahaan lain yang mendapat fasilitas master list untuk pembebasan bea masuk. Dengan demikian, apabila tetap ingin memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk pada Master List dan tidak menjadikannya sebagai pajak terhutang, maka yang harus diperhatikan adalah :
  1. kapal impor tersebut tidak boleh dijual/dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun;
  2. Apabila akan dijual/dipindahtangankan dibawah kurun waktu 5 tahun, maka harus dijual kepada Perusahaan lain yang memperoleh fasilitas Master List di BKPM.
Pembebasan PPN :
 
Untuk memperoleh fasilits PPN ini, tidak diperlukan jenis dan spesifikasi kapal yang akan diimpor sebagaimana untuk memperoleh Fasilitas Pembebasan Bea Masuk. Asalkan yang membeli Kapal Impor tersebut adalah Perusahaan Pelayaran yang merupakan Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, maka Perusahaan Pelayaran tersebut dapat memperoleh fasilitas pembebasan PPN.
Jangka Waktu :
Berbeda dengan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk, dimana bea masuk dapat diberikan dan tidak menjadi pajak terhutang apabila dilakukan penjualan/pemindahtanganan kepemilikan dibawah kurun waktu 5 tahun kepada Perusahaan lain yang mendapat fasilitas master list untuk pembebasan bea masuk. Untuk Fasilitas Pembebasan PPN pada dasarnya kapal yang diimpor dapat dijual/dipindahtangankan kepada pihak lain dibawah kurun waktu 5 (lima) tahun, namun konsekuensinya adalah bahwa Perusahaan Pelayaran harus membayar PPN yang terutang atau yang seharusnya pada saat mengimpor kapal pertama kali. Dengan demikian, apabila ingin mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, kapal impor tersebut tidak boleh dijual/dipindahtangankan sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun (lihat : Pasal 16 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu). Hal-hal yang harus diperhatikan dari maksud ketentuan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Bahwa Perusahaan Pelayaran boleh memindahtangankan Kapal Impor yang telah dibeli dalam kurun waktu kurang dari 5 (lima) tahun, akan tetapi sanksinya adalah bahwa Perusahaan Pelayaran tersebut harus membayar PPN terutang yang seharusnya dibayar pada saat pembelian Kapal Impor tersebut;
  2. Apabila Kapal Impor tersebut dijual kepada sebuah Perusahaan lain yang memperoleh fasilitas Pembebasan PPN, berarti PPN yang terutang hanyalah sebesar PPN yang seharusnya dibayar pada saat awal. Namun, apabila dijual bukan kepada Perusahaan Lain yang tidak memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN, maka Perusahaan lain yang membeli ini juga dibebani dengan PPN 10% dari nilai pembeliannya. Kronologisnya dapat dijelaskan seperti di bawah ini :
Dijual Kepada Perusahaan yang Memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN juga :
PT A membeli kapal Impor seharga Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar Rupiah), saat pembelian tersebut seharusnya mendapat PPN 10%. Jadi, total yang harus dibayar oleh PT A seharusnya
Harga Kapal: Rp.10.000.000.000,00
PPN 10%    : Rp. 1.000.000.0000,00 +
Total      : Rp. 11.000.000.000,00
Namun, karena PT A memperoleh fasilitas pembebasan PPN, maka PT A tidak perlu membayar PPN, jadi yang dibayar tetap seharga Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar Rupiah). Lalu, kurang dari 5 (lima) tahun PT A menjual kapal Impor tersebut kepada PT B yang merupakan Perusahaan yang memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN juga. Harga jual kapal tersebut dari PT A ke PT B adalah Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah). Harusnya PT B membayar kapal tersebut seharga :
Harga Kapal : Rp.5.000.000.000,00
PPN 10%     : Rp. 500.000.0000,00 +
Total       : Rp. 5.500.000.000,00

Oleh karena PT B merupakan perusahaan yang memperoleh Fasilitas Pembebasan PPN juga, maka PT B tidak terkena PPN sehingga kapal yang dibelinya tersebut hanya dibayar seharga Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar Rupiah). Namun, dikarenakan PT A menjual kepada PT B kurang dari 5 tahun, maka PPN yang seharusnya dibayar oleh PT A pada saat awal sebesar 1 M, tetap harus dibayarkan oleh PT A.

Dijual kepada Perusahaan yang tidak memperoleh fasilitas Pembebasan PPN:
Apabila ternyata PT B diatas merupakan perusahaan yang tidak memperoleh fasilitas Pembebasan PPN, maka PT B juga harus membayar PPN sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah). Sehingga dalam transaksi jual beli kapal impor tersebut diatas terdapat pembayaran PPN yang bisa dikatakan berganda. Hal ini karena Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar Rupiah) dari PT A yang merupakan sanksi terhadapnya dan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah) dari PT B atas pembelian kapal impor dari PT A.

Lalu mengapa ketentuan pemndahtangan Kapal Impor untuk Pembebasan Bea Masuk berbeda dengan ketentuan Pembebasan PPN ?
BKPM memberikan Rekomendasi Pembesan Bea Masuk, sedangkan pengawasan terhadap Bea Masuk dilakukan oleh Bea dan Cukai. Antara BKPM dan Bea Cukai telah mensinergikan aturan terkait Pembebasan Bea Masuk. Sehingga aturan terkait dengan pemindahtanganan Kapal Impor dibawah 5 tahun terdapat perbedaan konsekuensinya. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa antara Pembebasan Bea Masuk dan PPN terdapat perbedaan substansi dan keduanya berdiri sendiri. Apabila kita ambil kasus diatas, dimana PT A menjual kapalnya kurang dari waktu 5 tahun pada Perusahaan Lain dan Perusahaan tersebut mempunyai Fasilitas Master List maka konsekuensinya adalah sebagai berikut :
  1. Terhadap Bea Masuk tidak menjadi Pajak Terutang karena PT A menjual kapalnya kepada Perusahaan Lain yang memperoleh Fasilitas Master List;
  2. Terhadap PPN menjadi Pajak Terhutang. Sehingga yang harus dibayarkan adalah PPN yang seharusnya dibayar pada saat awal.
Fasilitas PPh Pasal 22 :
Pengenaan PPh Pasal 22 atas pembelian Kapal Impor berlaku ketentuan sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf b angka 15 disebutkan bahwa kapal-kapal yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22. Oleh Karena itu terhadap pembelian Kapal Impor dapat dimintakan fasilitas Pembebasan PPh.
Jangka Waktu :
Khusus untuk PPh Pasal 22 tidak ada pembatasan jangka waktu terkait fasilitas pembebasan yang dapat diperoleh. Jadi dapat dilakukan penjualan/pemindahtanganan kepemilikan atas kapal kapan saja. Misalnya, ketika menjual kapal dibawah kurun waktu 5 tahun kepada perusahaan yang mendapat fasilitas master list, berarti pajak yang terhutang dan harus dibayar adalah PPN, sedangkan untuk PPH Pasal 22 nya tidak menjadi terhutang, dan bea masuk tidka menjadi terhutang juga karena dijual kepada perusahaan yang memperoleh fasilitas Master List. Akan tetapi, apabila dijual kepada perusahaan yang tidak memperoleh fasilitas Master List, berarti pajak yang menjadi terhutang adalah Bea Masuk dan PPN saja.

June 21, 2011

Ketentuan Perusahaan Pelayaran atau Perusahaan Angkutan Laut Joint Venture

Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa orang perseorangan Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau Warga Negara Asing (WNA) dalam bentuk usaha patungan (Joint Venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia paling sedikit 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia. Pembentukan perusahaan angkutan laut merupakan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bagi pihak asing. Hal ini karena ada batasan jumlah komposisi maksimal yang dapat diinvestasikan. Oleh karena itu, apabila pihak asing akan menanamkan modalnya dalam pendirian perusahaan angkutan laut, maka jumlah maksimum investasinya tunduk pada ketentuan Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Berdasarkan Lampiran II Perpres No 36 Tahun 2010 disebutkan batasan-batasan komposisi bagi pihak asing dalam hal Angkutan Laut yaitu :

  1. Angkutan Laut Dalam Negeri maksimal 49%. Angkutan laut dalam negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan laut Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut (Pengertian ini berdasarkan pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut).
  2. Angkutan Laut Luar Negeri maksimal 49%. Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkatan laut (Pengertian ini berdasarkan pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut).
  3. Angkutan Laut Luar Negeri (tidak termasuk cabotage), baik itu untuk Angkutan Laut Luar Negeri untuk Penumpang maupun Angkutan Laut Luar Negeri untuk Barang maksimal 60%. Cabotage merupakan asas yang mewajibkan angkutan laut dalam negeri seluruhnya dilayani oleh kapal-kapal berbendara Indonesia semenjak dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.
Tatacara untuk memperoleh perizinan dan non perizinan terkait dengan kegiatan usaha penanaman modal dilakukan dengan Sistem Pelayanan Satu Pintu (PTSP), yang merupakan kebijakan yang diperintahkan oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. PTSP diartikan sebagai kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian wewenang dari instansi yang memiliki kewenangan, yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

Terkait Permohonan dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal diatur dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009. Dalam Pasal 29 peraturan tersebut juga disebutkan bahwa Perusahaan Penanaman Modal yang memerlukan perizinan dan nonperizinan yang masih menjadi kewenangan departemen atau instansi teknis di Pusat, permohonannya dapat diajukan melalui PTSP Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Penyelesaian permohonan tersebut difasilitasi oleh penghubung departemen atau instansi teknis yang ditempatkan di PTSP BKPM. Dengan demikian, perusahaan pengangkutan laut atau perusahaan pelayaran yang didirikan atas dasar joint venture cukup melakukan permohonan perizinan melalui BKPM. Hal ini karena BKPM akan melakukan koordinasi dengan Departemen terkait atau instansi terkait. Selain itu juga berdasarkan ketentuan pasal 45 ayat (7) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009, setelah dilakukan permohonan izin usaha, BKPM akan menerbitkan izin usaha dengan tembusan kepada pejabat instansi:

a.Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan;

b.Kepala BKPM (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP di PDPPM atau PTSP di PDKPM);

c.Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan;

d.Direktur Jenderal Pajak;

e.Gubernur yang bersangkutan;

f.Kepala PDPPM (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDKPM);

g.Kepala PDKPM (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDPPM).

Penanaman Modal Asing (PMA) yang akan mengajukan penanaman modal di Indonesia mengajukan permohonan Pendaftaran ke PTSP BKPM, sebelum atau sesusah berstatus badan hukum perseroan terbatas. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009. Dalam hal Perusahaan Joint Venture tersebut membutuhkan fasilitas fiskal, wajib memiliki Izin Prinsip Penanaman Modal. Namun, apabila perusahaan tersebut bidang usahanya tidak memperoleh fasilitas fiskal dan/atau dalam pelaksanaan penanaman modalnya tidak membutuhkan fasilitas fiskal, tidak diwajibkan memiliki Izin Prinsip. Fasilitas fiskal tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

1.Fasilitas bea masuk atas impor mesin;

2.Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan;

3.Usulan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (Pph) Badan;

Perusahaan penanaman modal yang telah memiliki Pendaftaran atau Izin Prinsip atau Surat Persetujuan Penanaman Modal harus memperoleh izin usaha untuk dapat memulai pelaksanaan kegiatan operasi atau produksi komersial, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 44 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009. Permohonan Izin usaha tersebut diajukan dengan menggunakan formulir Izin usaha dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM dengan dilengkapi persyaratan :

1.Laporan Hasil Pemeriksaan Proyek (LHP);

2.Rekaman akta pendirian dan pengesahan serta akta perubahan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM;

3.Rekaman pendaftaran Izin Prinsip;

4.Rekaman NPWP;

5.Bukti penguasaan atau penggunaan tanah atas nama :
a. Rekaman sertifikat Hak Atas Tanah atau jual beli tanah oleh PPAT, atau
b. Rekaman perjanjian sewa menyewa tanah.

6.Bukti penguasaan atau penggunaan gedung dan bangunan :
a. Rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau
b. Rekaman akta jual beli atau perjanjian sewa menyewa gedung atau bangunan.

7.Rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) atau rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi perusahaan yang berlokasi di luar kawasan industri;

8.Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir;

9.Rekaman persetujuan atau pengesahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau rekaman persetujuan atau pengesahan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);

10.Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam peraturan instansi teknis terkait dan/atau peraturan daerah setempat.

Ketentuan yang tertuang pada angka 10 tersebut selaras dengan ketentuan yang diatur pada pasal 12 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Penanaman Modal wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku untuk kegiatan penanaman modal yang dikeluarkan oleh instansi teknis yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan. Oleh karena itu untuk memperoleh izin usaha harus memperhatikan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 yaitu :

  1. Untuk badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
  2. Untuk Perusahaan Angkutan Laut yang berpatungan, harus memiliki kapal berbendera Indonesia sekurangkurangnya 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.
Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:

  1. kapal dengan ukuran tonase kotor sekurangkurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
  2. kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
  3. kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.

April 12, 2011

Sekilas Mengenai Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT)

I. Pengertian

Wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari Pemodal Profesional yang akan diinvestasikan oleh Manajer Investasi pada portofolio efek. Pemodal professional dalam hal ini merupakan pemodal yang memiliki kemampuan untuk membeli Unit Penyertaan dan melakukan analisis risiko terhadap RDPT. Unit penyertaan Reksa Dana ini terbatas hanya ditawarkan kepada Pemodal Profesional dan dilarang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau dilarang dimiliki oleh 50 (lima puluh) pihak atau lebih.

Nilai Aktiva Bersih awal setiap Unit Penyertaan RDPT wajib ditetapkan sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Sedangkan Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas yang menggunakan denominasi mata uang asing, maka Nilai Aktiva Bersih awal setiap Unit Penyertaan wajib ditetapkan sebesar US$ 500.000,00. (lima ratus ribu dolar Amerika Serikat) atau EUR 500.000,00 (lima ratus ribu Euro). Unit Penyertaan RDPT wajib disimpan dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Nama RDPT wajib mencantumkan nama Manajer Investasi dan nama yang mencerminkan spesifikasi tujuan investasi Reksa Dana tersebut.

II. Dasar Hukum

1) Peraturan Bapepam Nomor IV.C.5 tentang Reksadana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas;

2) Peraturan Bapepam Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;

3) Peraturan Bapepam Nomor IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.

III. Hak Pemegang Unit Penyertaan RDPT

Ketentuan mengenai hak pemegang unit penyertaan wajib dimuat dalam Kontrak Investasi Kolektif, adapun hak tersebut adalah sebagai berikut :

1) Memperoleh informasi mengenai Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas setiap tiga bulan sekali; dan

2) Meminta diselenggarakannya Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan (RUPUP).


IV. Kewajiban Manajer Investasi

Dalam Reksadana Penyertaan Terbatas, Manajer Investasi mempunyai beberapa kewajiban, diantaranya :

1) menyampaikan Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat secara notariil kepada Bapepam dan LK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas tersebut;

2) mempunyai modal disetor sekurang-kurangnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah);

3) mempunyai sekurang-kurangnya 1 (satu) orang pegawai yang mempunyai sertifikat Chartered Financial Analyst (CFA) atau Wakil Manajer Investasi yang telah mempunyai pengalaman dalam mengelola portofolio Efek paling kurang 5 (lima) tahun, yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas tersebut;

4) memiliki Unit Penyertaan dari Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling kurang 1 (satu) Unit Penyertaan;

5) Wajib melakukan penetapan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio dan menyampaikannya segera kepada Bank Kustodian setiap tiga bulan sekali.

V. Larangan Bagi Manajer Investasi

Ketentuan yang berkaitan dengan tindakan yang dilarang dilakukan oleh Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IV.B.1 dan Peraturan Nomor IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana tidak berlaku bagi Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, kecuali larangan sebagai berikut:

1) pembelian Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses melalui media massa atau fasilitas internet yang tersedia lebih dari 15% (lima belas per seratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana, kecuali Efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, Emiten dan atau Perusahaan Publik berdasarkan peraturan perundang-undangan Pasar Modal di Indonesia;

2) pembelian Efek yang diterbitkan oleh badan hukum asing yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri lebih dari 5% (lima per seratus) dari modal disetor perusahaan dimaksud dan lebih dari 10% (sepuluh perseratus) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas pada setiap saat;

3) terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki (short sale);

4) terlibat dalam pembelian Efek secara marjin;

5) melakukan penerbitan obligasi atau sekuritas kredit; dan

6) terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman, kecuali pinjaman jangka pendek yang berkaitan dengan penyelesaian transaksi dan pinjaman tersebut tidak lebih dari 10% (sepuluh per seratus) dari nilai portofolio Reksa Dana pada saat pembelian.

VI. Ketentuan Yang Tidak Berlaku Bagi RDPT

Dengan adanya Peraturan Bapepam Nomor IV.C.5 tentang Reksadana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas, maka beberapa ketentuan terkait dengan reksadana yang telah diatur secara khusus dalam peraturan terkait RDPT tidak berlaku lagi. Adapun ketentuan yang tidak berlaku adalah sebagai berikut :

a. Ketentuan yang berkaitan dengan pembelian dan penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan Peraturan Bapepam dan LK Nomor IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;

b. Ketentuan mengenai hal-hal minimal yang dimuat dalam Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana diatur dalam Peraturan IV.B.2 yang terkait dengan komposisi diversifikasi portofolio di pasar uang dan Pasar Modal;

c. Ketentuan mengenai penghitungan, pengumuman, dan pelaporan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor IV.C.3 tentang Pedoman Pengumuman Harian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Terbuka;

d. Ketentuan mengenai Kewajiban RDPT untuk menyampaikan laporan Reksa Dana sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor X.D.1 tentang Laporan Reksa Dana kecuali ketentuan angka 1 huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, angka 2 huruf c, angka 3 dan angka 8;

e. Kewajiban Manajer Investasi terkait dengan pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan Peraturan Nomor IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

f. Ketentuan yang berkaitan dengan hal-hal yang menjadi dasar Reksa Dana wajib dibubarkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Nomor IV.B.1 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan Peraturan Nomor IV.B.2 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali ketentuan kewajiban pembubaran Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas karena Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4 Diperintahkan oleh Bapepam dan LK sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang Pasar Modal atau Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat untuk membubarkan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas dengan terlebihd ahulu memperoleh persetujuan dari pemegang unit penyertaan.

VII. Penghitungan Nilai Aktiva Bersih RDPT

Pihak yang berkewajiban untuk melakukan penghitungan Nilai Aktiva Bersih RDPT adalah Bank Kustodian dan dilakukan setiap 3 (tiga) bulan sekali. Penilaian Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas tidak wajib tunduk pada Peraturan Nomor IV.C.2 tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana. Apabila penilaian Nilai Aktiva Bersih RDPT tidak mengikuti ketentuan tersebut, maka Manajer Investasi pengelola RDPT wajib menetapkan metode penghitungan Nilai Pasar Wajar Efek dari RDPT secara konsisten untuk menghitung dan menetapkan Nilai Aktiva Bersih.