Menyambung tulisan saya sebelumnya terkait dengan proses Pembubaran dan Likuidasi Perseroan, maka terdapat beberapa ketentuan terkait perpajakan yang perlu diperhatikan pada saat Perseroan akan dibubarkan dan dilikuidasi, dimana berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, sebagaimana yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor : 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”) disebutkan bahwa ketika Perseroan dalam proses pembubaran dan likuidasi, maka wajib pajak diwakili oleh badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan atau likuidator. Berikut bunyi dari pasal tersebut :
“Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:”
- badan oleh pengurus;
- badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
- badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
- badan dalam likuidasi oleh likuidator;
- suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
- anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
Selain itu juga berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor : SE-36/PJ/2011 tentang Kebijakan Penagihan Pajak (“Surat Edaran tentang Kebijakan Penagihan Pajak”), disebutkan bahwa Kanwil DJP dan KPP memberikan prioritas tindakan penagihan atas kondisi piutang pajak, salah satunya terhadap piutang pajak yang Wajib Pajaknya memiliki tanda-tanda akan dilikuidasi/dibubarkan, atau dalam proses likuidasi/pembubaran. Adapaun tatacara penagihan adalah sebagi berikut :
- Dalam hal terdapat tanda-tanda Wajib Pajak akan dilikuidasi/dibubarkan, seperti Wajib Pajak tidak lagi melaksanakan kegiatan usaha, terdapat penghentian hubungan kerja kepada sejumlah besar buruh/karyawan, berita media massa dan/atau informasi lainnya, maka tindakan penagihan yang sedang dilaksanakan segera dimaksimalkan sebelum terdapat likuidasi atau pembubaran, dan dalam hal Surat Paksa belum diberitahukan, terlebih dahulu dilakukan penagihan seketika dan sekaligus.
- Dalam hal terdapat informasi mengenai Wajib Pajak yang dilikuidasi/dibubarkan, maka informasi tersebut harus segera ditindaklanjuti dengan mengirimkan surat kepada Tim likuidasi yang menginformasikan: (i) Jumlah seluruh piutang pajak dengan melampirkan salinan Surat Paksa. (ii)Ketentuan yuridis perpajakan yang berlaku antara lain Pasal 21 UU KUP, dan Pasal 10 ayat (5) UU PPSP.
- Setelah proses likuidasi berakhir dan atas piutang pajak Wajib Pajak belum seluruhnya terbayarkan dari aset Wajib Pajak likuidasi, maka KPP wajib melakukan penagihan pajak secara optimal terhadap Penanggung Pajak.
- Dalam menindaklanjuti dan menangani proses perkara likuidasi/pembubaran sebagaimana tersebut di atas, KPP berkoordinasi dengan Kepala Sub Bagian Bantuan Hukum dan Pelaporan Kanwil DJP atasannya dan melaporkan perkembangannya kepada Direktur Pemeriksaan dan Penagihan serta Direktur Peraturan Perpajakan II.
Lalu kapan pembayaran pajak yang masih harus dibayar atau terutang tersebut dilakukan ?
Pembayaran pajak yang masih harus dibayar atau pajak terutang tersebut dilakukan sebelum Wajib Pajak membagikan harta kepada kreditur atau pemegang saham, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (3a) KUP, yang berbunyi sebagai berikut :
“Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut”.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun (Pasal 22 ayat (1) UU KUP).
Penghapusan NPWP
Ketika Perseroan telah dibubarkan secara resmi, maka langkah berikutnya adalah melakukan Penghapusan NPWP, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep : 161/Pj./2001 tentang Jangka Waktu Pendaftaran Dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan Dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (“Keputusan Dirjen Pajak”), yang berbunyi sebagai berikut:
“Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan dalam hal :”
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut dapat dilakukan apabila utang pajak telah dilunasi atau hak untuk melakukan penagihan telah daluwarsa, kecuali dari hasil pemeriksaan pajak diketahui bahwa utang pajak tersebut tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi disebabkan karena :
- Wajib Pajak orang pribadi meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris, atau ahli waris tidak dapat ditemukan;
- Wajib Pajak tidak mempunyai harta kekayaan lagi; atau
- sebab lain sesuai dengan hasil pemeriksaan.