June 21, 2011

Ketentuan Perusahaan Pelayaran atau Perusahaan Angkutan Laut Joint Venture

Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa orang perseorangan Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau Warga Negara Asing (WNA) dalam bentuk usaha patungan (Joint Venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia paling sedikit 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia. Pembentukan perusahaan angkutan laut merupakan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bagi pihak asing. Hal ini karena ada batasan jumlah komposisi maksimal yang dapat diinvestasikan. Oleh karena itu, apabila pihak asing akan menanamkan modalnya dalam pendirian perusahaan angkutan laut, maka jumlah maksimum investasinya tunduk pada ketentuan Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Berdasarkan Lampiran II Perpres No 36 Tahun 2010 disebutkan batasan-batasan komposisi bagi pihak asing dalam hal Angkutan Laut yaitu :

  1. Angkutan Laut Dalam Negeri maksimal 49%. Angkutan laut dalam negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan laut Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut (Pengertian ini berdasarkan pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut).
  2. Angkutan Laut Luar Negeri maksimal 49%. Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan Indonesia ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkatan laut (Pengertian ini berdasarkan pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut).
  3. Angkutan Laut Luar Negeri (tidak termasuk cabotage), baik itu untuk Angkutan Laut Luar Negeri untuk Penumpang maupun Angkutan Laut Luar Negeri untuk Barang maksimal 60%. Cabotage merupakan asas yang mewajibkan angkutan laut dalam negeri seluruhnya dilayani oleh kapal-kapal berbendara Indonesia semenjak dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.
Tatacara untuk memperoleh perizinan dan non perizinan terkait dengan kegiatan usaha penanaman modal dilakukan dengan Sistem Pelayanan Satu Pintu (PTSP), yang merupakan kebijakan yang diperintahkan oleh Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, PTSP dimaksudkan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal. PTSP diartikan sebagai kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian wewenang dari instansi yang memiliki kewenangan, yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

Terkait Permohonan dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal diatur dalam Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009. Dalam Pasal 29 peraturan tersebut juga disebutkan bahwa Perusahaan Penanaman Modal yang memerlukan perizinan dan nonperizinan yang masih menjadi kewenangan departemen atau instansi teknis di Pusat, permohonannya dapat diajukan melalui PTSP Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Penyelesaian permohonan tersebut difasilitasi oleh penghubung departemen atau instansi teknis yang ditempatkan di PTSP BKPM. Dengan demikian, perusahaan pengangkutan laut atau perusahaan pelayaran yang didirikan atas dasar joint venture cukup melakukan permohonan perizinan melalui BKPM. Hal ini karena BKPM akan melakukan koordinasi dengan Departemen terkait atau instansi terkait. Selain itu juga berdasarkan ketentuan pasal 45 ayat (7) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009, setelah dilakukan permohonan izin usaha, BKPM akan menerbitkan izin usaha dengan tembusan kepada pejabat instansi:

a.Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan;

b.Kepala BKPM (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP di PDPPM atau PTSP di PDKPM);

c.Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan;

d.Direktur Jenderal Pajak;

e.Gubernur yang bersangkutan;

f.Kepala PDPPM (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDKPM);

g.Kepala PDKPM (bagi izin usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDPPM).

Penanaman Modal Asing (PMA) yang akan mengajukan penanaman modal di Indonesia mengajukan permohonan Pendaftaran ke PTSP BKPM, sebelum atau sesusah berstatus badan hukum perseroan terbatas. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009. Dalam hal Perusahaan Joint Venture tersebut membutuhkan fasilitas fiskal, wajib memiliki Izin Prinsip Penanaman Modal. Namun, apabila perusahaan tersebut bidang usahanya tidak memperoleh fasilitas fiskal dan/atau dalam pelaksanaan penanaman modalnya tidak membutuhkan fasilitas fiskal, tidak diwajibkan memiliki Izin Prinsip. Fasilitas fiskal tersebut antara lain adalah sebagai berikut :

1.Fasilitas bea masuk atas impor mesin;

2.Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan;

3.Usulan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (Pph) Badan;

Perusahaan penanaman modal yang telah memiliki Pendaftaran atau Izin Prinsip atau Surat Persetujuan Penanaman Modal harus memperoleh izin usaha untuk dapat memulai pelaksanaan kegiatan operasi atau produksi komersial, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 44 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009. Permohonan Izin usaha tersebut diajukan dengan menggunakan formulir Izin usaha dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM dengan dilengkapi persyaratan :

1.Laporan Hasil Pemeriksaan Proyek (LHP);

2.Rekaman akta pendirian dan pengesahan serta akta perubahan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM;

3.Rekaman pendaftaran Izin Prinsip;

4.Rekaman NPWP;

5.Bukti penguasaan atau penggunaan tanah atas nama :
a. Rekaman sertifikat Hak Atas Tanah atau jual beli tanah oleh PPAT, atau
b. Rekaman perjanjian sewa menyewa tanah.

6.Bukti penguasaan atau penggunaan gedung dan bangunan :
a. Rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau
b. Rekaman akta jual beli atau perjanjian sewa menyewa gedung atau bangunan.

7.Rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) atau rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi perusahaan yang berlokasi di luar kawasan industri;

8.Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir;

9.Rekaman persetujuan atau pengesahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau rekaman persetujuan atau pengesahan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL);

10.Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam peraturan instansi teknis terkait dan/atau peraturan daerah setempat.

Ketentuan yang tertuang pada angka 10 tersebut selaras dengan ketentuan yang diatur pada pasal 12 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa Penanaman Modal wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku untuk kegiatan penanaman modal yang dikeluarkan oleh instansi teknis yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan. Oleh karena itu untuk memperoleh izin usaha harus memperhatikan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 yaitu :

  1. Untuk badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
  2. Untuk Perusahaan Angkutan Laut yang berpatungan, harus memiliki kapal berbendera Indonesia sekurangkurangnya 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.
Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:

  1. kapal dengan ukuran tonase kotor sekurangkurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
  2. kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
  3. kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.